Opini  

Prabowo, Neoliberalisme, dan Masa Depan Ekonomi Indonesia

Presiden Prabowo tegaskan sikap anti-neoliberalisme, kritik ketimpangan ekonomi, dan serukan pendidikan Pancasila untuk perubahan bangsa.
Prof. Yudhie Haryono, Ph.D (Foto: Dok. pribadi)

Opini, Semartara.News Presiden Prabowo dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap paham ekonomi neoliberalisme. Menurutnya, sistem ini membuat kekayaan para kaum elit tidak pernah mengalir ke masyarakat kelas bawah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 menunjukkan, tingkat ketimpangan di Indonesia—diukur melalui Gini Ratio—mencapai 0,375. Angka ini jelas bertolak belakang dengan amanat konstitusi yang menegaskan kewajiban negara untuk menyejahterakan seluruh rakyatnya.

Sikap anti-neoliberal Prabowo kerap digaungkan, disampaikan, bahkan dijadikan bahan kampanye. Namun, realisasinya di tingkat kebijakan masih jauh dari harapan. Pasalnya, hampir semua ekonom yang masuk dalam jajaran kabinetnya justru berhaluan neoliberal, dengan Sri Mulyani memegang peranan sentral.

Selama menjabat sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani menerapkan kebijakan yang digambarkan sebagai “6 i”: investasi asing, intervensi, infiltrasi, inefisiensi, instabilisasi, dan invasi. Dampaknya, muncul “6 d” yang merugikan: de-indonesianisasi, de-nasionalisasi, de-rasionalisasi, de-moralisasi, de-inovasi teknologi, dan de-industrialisasi.

Bukti yang tampak jelas adalah maraknya kasus korupsi, mengakar kuatnya praktik KKN, serta posisi Indonesia yang masih bergantung pada ekspor bahan mentah dan impor barang jadi. Para penganut neoliberalisme dinilai sering melahirkan kebijakan yang mempersulit akses pendidikan, kesehatan, modal usaha, lapangan kerja, serta penegakan hukum bagi kelompok miskin dan rentan.

Akibat lebih dari setengah abad berada di bawah bayang-bayang neoliberalisme, pola masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga: kelas atas yang terjebak perilaku KKN, kelas menengah yang sibuk mengkritik, dan kelas bawah yang terus mengeluh. Potret ini diperkuat oleh lahirnya masyarakat “3 d”: distrust (tidak saling percaya), disorder (kekacauan), dan disobedient (tidak patuh).

Distrust society muncul karena budaya korupsi, ketidakadilan hukum, minimnya transparansi, dan pengkhianatan elit. Disorder society menggambarkan kekacauan sistem bernegara, baik secara sosial, politik, maupun mental, yang memicu keresahan, stres, hingga depresi pada warganya. Sementara disobedient society adalah perlawanan terhadap aturan yang berlaku, menjadi bibit bagi munculnya chaos dan potensi revolusi.

Kondisi ini mencerminkan defisitnya sosok negarawan yang menjadi teladan, kurangnya ilmuwan yang memberi solusi, dan absennya bangsawan yang berbuat kebajikan. Gambaran buram ini seolah menuntun bangsa menuju kemunduran peradaban.

Solusinya adalah memperkuat kembali pendidikan ke-Indonesiaan yang berlandaskan ipoleksosbudhankam Pancasila. Menyatukan barisan—dari hati, pikiran, ucapan, hingga tindakan—adalah proses yang berat namun penting. Ini adalah bentuk perjuangan yang mungkin tidak banyak orang mau jalani, karena kemenangan baru akan mengundang mereka untuk ikut serta, sementara kekalahan akan disambut dengan cemoohan.

Pada akhirnya, akan lahir banyak cerita, gugatan, dan kesaksian yang pantas diabadikan. Maka, mari bersiap berjalan bersama dalam semangat perubahan. Sebab, revolusi tidak memberi apa pun selain dirinya sendiri, dan tidak mengambil apa pun selain dari dirinya sendiri.

Penulis: Yudhie Haryono, Presidium Forum Negarawan. (*)

Tinggalkan Balasan