Opini  

Analisis Tindakan PPATK: Pembekuan Rekening Dormant dan Implikasinya

PPATK membekukan rekening dormant secara massal, menuai kritik hukum dan ekonomi. Benarkah lembaga ini melampaui wewenangnya?
Muhammad Akhyar Adnan (Foto: Dok. pribadi)

Opini, Semartara.News Sejak Mei 2025, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mulai menerapkan kebijakan pembekuan sementara terhadap rekening dormant, mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Rekening dormant sendiri merujuk pada akun yang tidak mengalami aktivitas transaksi selama 3 hingga 12 bulan, tergantung pada kebijakan masing-masing bank. Menurut PPATK, langkah ini bertujuan melindungi nasabah sekaligus mencegah penyalahgunaan rekening untuk tindak kejahatan, seperti perjudian online. Hingga saat ini, lebih dari 28 juta rekening telah kembali diaktifkan usai proses verifikasi.

Namun, metode pemblokiran secara besar-besaran tersebut menuai kritik karena dinilai kurang selektif. Sejumlah pihak bahkan berspekulasi bahwa PPATK telah melebihi mandat dasarnya yang hanya berwenang mengawasi transaksi mencurigakan.

Efek dari kebijakan ini sangat terasa, terutama dalam konteks ekonomi. Ia berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, khususnya di kalangan nasabah rentan seperti lansia dan penerima bantuan sosial.

Prosedur reaktivasi yang memerlukan waktu hingga 20 hari kerja dianggap menambah beban administratif dan keuangan. Di sisi sosial, kebijakan ini juga memunculkan keresahan publik dan memantik tuduhan bahwa kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk “sabotase” terhadap sistem keuangan.

Meskipun data menunjukkan adanya penurunan hingga 70 persen terhadap simpanan yang terindikasi berasal dari aktivitas perjudian online, sejumlah pihak mempertanyakan efektivitasnya jika dampak negatif terhadap nasabah sah ternyata lebih besar dibandingkan manfaat penegakan hukumnya.

Tinjauan Hukum dan Logika Ekonomi

Dari sudut pandang hukum, ada dugaan bahwa PPATK telah melampaui kewenangannya. Berdasarkan Pasal 27 UU No. 8 Tahun 2010, PPATK hanya diberi kuasa untuk meminta penghentian transaksi apabila terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang. Pembekuan pun dibatasi maksimal 30 hari dan harus dilaporkan kepada penyidik.

Sementara Pasal 71 dari undang-undang yang sama menyatakan bahwa pemblokiran terhadap aset hanya dapat dilakukan atas perintah dari penyidik, jaksa, atau hakim terhadap tersangka atau terdakwa. Maka dari itu, tindakan pemblokiran massal tanpa status hukum yang jelas terhadap rekening-rekening tersebut menimbulkan dugaan pelanggaran.

Selain itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (kemungkinan besar POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen) mewajibkan adanya pemberitahuan dan proses verifikasi sebelum tindakan tegas dilakukan. Namun, implementasinya dalam kasus ini tampak tidak sesuai.

Dalam sebuah diskusi di MetroTV pada 5 Agustus 2025, narasumber menyoroti dua pelanggaran krusial. Pertama, definisi rekening dormant yang digunakan PPATK dianggap tidak sesuai POJK karena inaktivitas selama 3 bulan terlalu singkat dibanding standar umum 6–12 bulan yang disertai pemberitahuan sebelumnya. Kedua, PPATK dinilai tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan pemblokiran tanpa perintah resmi dari pengadilan atau penyidik.

Dari sisi ekonomi, pembekuan rekening secara massal berpotensi menghambat perputaran uang dan menurunkan likuiditas, meskipun PPATK menyatakan ini sebagai langkah strategis untuk memerangi tindak kriminal. Namun, tanpa bukti individual atas masing-masing rekening, pendekatan ini dinilai terlalu berlebihan.

Beberapa pihak juga mengkritisi klaim PPATK yang menyebut kebijakan ini untuk melindungi masyarakat, karena pemblokiran yang dilakukan tanpa dasar hukum yang spesifik terhadap individu dinilai bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan.

Pandangan ini memperkuat asumsi bahwa PPATK mungkin telah melakukan tindakan berlebihan (overreach), mengingat UU TPPU tidak memberikan kewenangan untuk melakukan pemblokiran massal secara preventif tanpa dasar hukum yang sah per kasus.

Apakah PPATK Bisa Digugat?

Jika ditemukan bahwa PPATK telah melampaui batas wewenangnya atau tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku — seperti yang diangkat dalam diskusi publik maupun media — maka bukan tidak mungkin lembaga ini dapat dimintai pertanggungjawaban.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan class action melalui Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), baik untuk meminta ganti rugi maupun pembatalan kebijakan.

Adanya indikasi pelanggaran — seperti tidak adanya pemberitahuan sesuai aturan POJK atau pembekuan yang dilakukan tanpa adanya indikasi pidana terhadap pemilik rekening — bisa menjadi landasan gugatan.

Kritik yang menyebut bahwa PPATK telah melampaui otoritasnya memperkuat posisi hukum tersebut. Meski begitu, PPATK juga bisa mengklaim bahwa tindakan mereka merupakan bagian dari upaya pemberantasan kejahatan keuangan. Segala kemungkinan akan sangat bergantung pada sejauh mana bukti kerugian yang dialami nasabah serta soliditas pengorganisasian mereka dalam menggugat.

Kebijakan ini memang mencerminkan niat untuk memberantas kejahatan finansial. Namun, pendekatan massal yang dilakukan, potensi pelanggaran definisi rekening dormant menurut POJK, serta dugaan melebihi batas kewenangan, menunjukkan perlunya evaluasi independen.

Tanpa adanya transparansi data mengenai mana rekening yang bermasalah dan mana yang tidak, kebijakan ini rawan dianggap melanggar hukum dan justru menciptakan ketidakadilan, alih-alih perlindungan terhadap publik.

Diskusi di media serta kritik publik menjadi sinyal perlunya akuntabilitas dan koreksi, di mana gugatan class action bisa menjadi langkah hukum yang tepat apabila terdapat bukti pelanggaran nyata.

Penulis: Oleh Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Program Studi (Prodi) Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi. (*)

Tinggalkan Balasan