Jakarta, Semartara.News — Ketua Presidium Nasional Jaringan Kerja Akar Rumput Bersama Ganjar (Jangkar Baja), I Ketut Guna Artha menyebut, pengelolaan proyek-proyek strategis nasional atas penugasan dari pemerintahan presiden Jokowi ternyata meninggalkan sejumlah persoalan.
Hal ini disinyalir karena paradigma pengelolaan BUMN tak banyak berubah “ahlaknya” seperti di era Orde Baru yang dijadikan “sapi perahan”.
Menurut pria yang dikenal dengan panggilan Igat itu, penentuan jajaran direksi dan komisaris sepertinya lebih diutamakan dengan memasang orang-orang yang manut kemana dukungan presiden di Pilpres 2024.
“Dengan demikian luput dari pengawasan prinsip good governance karena ada konflik kepentingan,” ujar Igat.
Selanjutnya dalam penunjukkan jajaran Direksi dan Komisaris diluar penilaian profesionalisme, penting juga untuk melihat rekam jejak loyalitasnya kepada negara.
Jangan sampai, kata Igat, kepintarannya disalahgunakan untuk mengambil keuntungan pribadi dan menyokong gerakan melawan “negara dan konstitusi”.
“Untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang cerdas, kreatif, inovatif dan produktif sebagai ujung tombak kemajuan BUMN tidaklah sulit. Oleh karena itu loyalitas kepada negara menjadi mutlak, entah siapapun itu presidennya,” ungkap Igat.
Seperti diberitakan secara luas bahwa sejumlah mitra BUMN membawa persoalan tagihan proyek yang belum dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan BUMN karya ke Pengadilan Niaga melalui mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Igat yang juga Jubir Tim Pemenangan Nasional Ganjar Mahfud (TPN GM) menyoroti jika pertanggungjawaban salah kelola BUMN tak tersentuh hukum.
Menurutnya, solusi atas kerugian salah kelola BUMN tanpa tersentuh hukum, hanya dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) dari APBN konsekwensinya bisa saja berimbas pada alokasi untuk membiayai kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan dan kesehatan menjadi berkurang.
“Harapan kami BUMN harus dikelola semakin profesional menghadapi disrupsi teknologi dan ketidakpastian ekonomi global sehingga semakin kompetitif dalam persaingan dunia usaha yang fair. Jika dikelola lebih profesional, produktif dan inovatif akan memberikan deviden maksimal terhadap negara,” jelasnya.
Dia menyebut, pengelolaan BUMN harus diperbaiki, baik perombakan total, maupun manajemen yang ada. Semua aset yang dimiliki BUMN harus produktif.
Semisal tanah-tanah penguasaan BUMN yang terlantar harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat walaupun dalam status Hak Guna Pakai baik untuk kepentingan ketahanan pangan maupun UMKM.
BUMN adalah lokomotif perekonomian nasional karena dimodali oleh negara. Lalu bagaimana menjalankan fungsinya sebagai lokomotif jika “menghisap” modal vendor-vendor/sub kontraktornya?.
“BUMN bukan hanya sekedar korporasi yang profit oriented, tapi ada misi idealisme negara dalam BUMN untuk menggerakkan ekonomi nasional,” kata Igat.
Igat mengungkapkan, dalam hutang jumbo BUMN Rp 1.600 triliun terdapat modal mitra BUMN yang ikut tertahan sehingga kegiatan usaha mereka untuk ekspansi menjadi mandeg.
Sehatnya BUMN tak cukup hanya diukur dari rasio hutang dibanding equity (total aset dikurangi total kewajiban) BUMN senilai Rp 3.200 triliun.
Karena dengan tertahannya tagihan hutang para sub kontraktor dalam waktu yang tidak wajar maka itu artinya sama saja menciptakan cash flow para mitra, sub kontraktor terganggu alias membunuh pelan-pelan kegiatan usaha mitra.
“Disinilah misi idealisme BUMN itu seharusnya hadir,” tegas Igat.
Kemudian lanjut Igat, kekhawatiran lainnya atas pengelolaan BUMN adalah bagaimana kemudian jika yang terjadi proyek-proyek strategis nasional yang pembiayaannya baik bersumber dari APBN, Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) maupun investasi swasta murni hanya dinikmati oleh kroni-kroninya untuk dibarter membiayai kampanye pilpres 2024?.
“Aroma oligarki ini mungkin jauh hari sudah diendus masyarakat yang melek dengan melihat fakta-fakta ganjil yang terjadi saat ini. Jangan sampai kita kembali ke jaman Orde Baru bahwa musuh Reformasi yakni Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,” pungkas Igat.(rilis)