Kota Tangerang, Semartara.News – Terjadinya overload pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sejumlah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Kota Tangerang diduga banyak varian suap. Jumat, (27/05/22).
Hal itu disampaikan oleh Dewan Pendidikan Provinsi Banten, Eny Suhaeni mengungkapkan dirinya mendengar isu bahwa terjadi suap-menyuap ketika pelaksanaan penerimaan siswa baru. Namun, Eny menyampaikan bahwa tindakan tersebut tidak terlihat wujudnya. Jadi, secara hukum tidak bisa dibuktikan.
“Katanya, kalau di kota itu variannya banyak. Tercium baunya, tetapi tidak ada wujudnya, tidak terlihat. Kalau bicara hukum, kan, bicara pembuktian,” katanya.
“Misalnya, kita tidak bisa membuktikan pelanggarannya secara administrasi, maka kita sulit memberikan sanksinya. Rata-rata dari sisi administrasi mereka fine-fine aja,” tambah Eny saat dihubungi wartawan Semartara.
Namun, isu-isu tersebut tidak bisa dihindarkan oleh sekolah. Pasalnya, ada segelintir orang yang memaksa ingin anaknya bisa terdaftar dan berani membayar.
Karena itu, Eny menyarankan agar Dinas Pendidikan terus-menerus melakukan koordinasi agar seleksi pendidikan tidak sebagai ajang mencari uang. Selain itu, dinas pendidikan harus mencari solusi agar tidak lagi terjadi overload setiap PPDB. Dan, memberi sanksi tegas bagi sekolah yang memaksakan kelebihan PPDB.
“Nah, yang harus dilakukan Dinas Pendidikan jangan sampai sekolah itu setiap PPDB mengalami overload, kelebihan rombongan belajar, atau keluar kapasitas,” papar Eny.
“Selain itu, memberikan sanksi tegas terhadap sekolah yang melanggar dengan rujukan aturan penyelenggaraan PPDB,” tegasnya.
Dampak Overload Tidak Terdata di Dapodik
Sementara itu, Eny menjelaskan dampak dari overload akan berimbas tidak terdaftarnya siswa dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Artinya, menjadi tanggung jawab moral sekolah kepada murid dan wali murid.
“Akibat overload itu tidak terdaftar di Dapodik, susah nanti memasukan datanya. Mereka tidak masuk dalam kategori mendapatkan bantuan pendidikan karena sudah over kapasitas,” terangnya.
Di satu sisi, Eny mengungkapkan sekolah harus membuka ruang bagi masyarakat yang ingin berkontribusi dalam pengembangan penyelenggaraan pendidikan. Katanya, hal itu jelas di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Caranya, melalui Komite Sekolah atau mediasi Dewan Pendidikan.
Selain itu, ketidakmampuan negara dalam menyediakan sarana-prasarana atau keberatan dalam menanggung seluruh beban biaya penyelenggaraan pendidikan menjadi penghambat pengembangan sekolah.
“Jika memberi uang kepada sekolah dalam artian membantu pengembangan pendidikan, ya silahkan saja. UU Sisdiknas menjamin keamanannya dengan syarat dibicarakan bersama Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan dengan catatan secara terbuka, ikhlas, atau sukarela. Jadi, jangan main kucing-kucingan,” ungkap Eny.
“Karena kadang kala, banyak manajemen sekolah butuh pengembangan, tetapi negara belum bisa memenuhi,” imbuhnya. (Kahfi/Say)