Semartara.News – “Orang Bilang Tanah Kita Tanah Surga, Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman…” begitu penggalan lirik lagu ‘Kolam Susu’ dari band legendaris Koes Plus.
Koes Plus telah memberi pesan, bahwa negeri ini subur makmur gemah ripah loh jinawi. Juga mengesankan, saking suburnya hingga tongkat kayu dan batu pun bisa tumbuh jadi tanaman.
Namun sayang seribu kali sayang, di negeri tanah subur ini malah rakyatnya kesusahan, jauh dari rasa kemakmuran seperti dalam lirik lagu itu.
Sebabnya, kini harga komoditas pangan sedang melonjak naik tidak karuan. Ada yang memang rutin terjadi mengikuti kalender tahunan, ada yang naik lantaran ketergantungan impor.
Namun ada juga yang bermula langka, kemudian “banjir”. Tapi harganya naik selangit bikin menjerit rakyat.
Seperti minyak goreng, padahal negara kita produsen terbesar CPO alias minyak sawit di dunia. Ironis, malah rakyat kesusahan mendapat minyak murah.
Rakyat pun harus heroik ngantri berjam-jam untuk membeli minyak curah murah di berbagai tempat. Dan itu untuk membeli, bukan dibagi gratisan.
Entah apa yang meraksuki komoditas pangan itu, hingga harga cabai, daging, telor, tempe, minyak goreng dan lainnya naik kompak ugal-ugalan.
Kompleksitas Masalah Pangan
Kondisi karut-marut soal komoditas pangan di negeri ini telah mengundang keprihatinan dari berbagai kalangan.
Anggota Komisi VI DPR RI Ananta Wahana menyebut, bahwa kondisi tersebut telah mengingatkan negara lemah dalam hal ketahanan pangan.
“Ini soal ketahanan pangan. Kita harus berpikir lagi, betapa pentingnya swasembada untuk kemandirian pangan,” ujarnya.
Kata dia, hegemoni impor pangan telah menimbulkan gejolak harga di dalam negeri. Dan itu akan terus terjadi mengikuti selera “pamain” pasar pangan dunia.
“Ada beberapa komoditas pangan bergejolak lantaran ketergantungan impor. Tentu, kenaikan harga pangan global akan memicu harga pangan dalam negeri,” ungkapnya.
Seperti kedelai, 86,4 persen hingga 92 persen ketergantungan pasokan impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai pada tahun 2021 mencapai US$1,482 miliar atau Rp 21,04 triliun.
Nilai tersebut meningkat 479,4 juta atau 47,78% dibandingkan tahun sebelumnya.
“Padahal kedelai itu bahan baku tempe. Sebagai makanan rakyat yang harus selalu tersedia di meja makan,” kata Ananta.
Kemudian untuk minyak goreng yang seolah-olah pemerintah buntu mengatasi gejolak harga. Meski Kementerian Perdagangan sudah gonta-ganti kebijakan untuk membendungnya.
Menurut Ananta, sejatinya kebijakan itu menjadi jurus jitu bagi pemerintah untuk meredam gejolak harga minyak goreng.
“Lantas bagaimana dengan pengawasan dari kebijakan itu. apakah DMO dan DPO eksportir sebesar 20 persen dari total volume ekspor tidak terjadi kebocoran,” imbuhnya.
Lalu sekarang harga minyak goreng dilepas ke mekanisme pasar, dan tiba-tiba melimpah membanjiri pasar.
Tentu ini, menurut Ananta, menguntungkan pelaku yang selama ini sengaja menahan pasokan ke masyarakat. Pemerintah ternyata kalah oleh penimbun.
“Meski ada operasi pasar, ada subsidi. Terus bagaimana jika operasi pasar dan subsidi itu habis. Apakah harga minyak bisa dijamin murah,” tanyanya.
Meski urusan pangan ini memiliki kompleksitas tersendiri, namun pemerintah tidak boleh kalah dan buntu. Rakyat harus mendapat harga minyak goreng murah.
“Apalagi ini Ramadhan dan sebentar lagi lebaran,” imbuhnya.
Undang Undang Perlindungan Petani
Salah satu upaya untuk mencapai kemandirian pangan melalui swasembada, adalah negara harus melakukan penguatan sektor pertanian, dengan memberikan perlindungan terhadap petani.
Sebabnya, di negeri yang subur bak tanah suga ini seharusnya sektor pertanian mampu menghasilkan produksi berlimpah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bahkan mestinya bisa melepas produk pertanian ke pasar ekspor.
Penyebab utama merosotnya produksi pertanian, antaralain biaya pertanian cukup mahal, bahkan bisa melampaui hasil panen petani.
Seperti pupuk mahal, bibit dan obat-obatan pertanian mahal, upah pekerja dan jasa pertanian mahal. Belum lagi ancaman gagal panen yang tidak ada jaminan perlindungan kepada petani.
Kemudian lahan menyempit lantaran alih fungsi ke sektor industri dan properti. Semua itu meruntuhkan moralitas petani untuk menggarap berbagai sektor usahanya.
“Ini penting untuk segera diatasi dan mencarikan solusinya. Seperti bagaimana kita mulai berpikir untuk menggagas undang-undang perlindungan petani,” ungkap Ananta Wahana, wakil rakyat dari Dapil Banten III Tangerang Raya itu.
Menurut Ananta, selama ini memang pemerintah telah berupaya untuk membatu petani dengan berbagai program. Contohnya dengan subsidi pupuk.
“Namun apakah program-program bagi petani itu betul-betul efektif. Apakah subsidi itu sudah tepat sasaran misalnya,” ucapnya.
“Terus bagaimana dengan gagal panen, apakah ada perlindungan jaminan. Dan bagaimana dengan jaminan harga, jika panen sedang berlimpah,” lanjutnya.
Gonjang-ganjing harga komoditas pangan memang telah menambah susah rakyat. Apalagi ekonomi rakyat belum pulih lantaran remuk kena hantaman pandemi.
Gejolak harga komoditas pangan harus segera disudahi. Dan pemerintah harus serius memikirkan solusinya. Seperti dengan swasembada untuk kemandirian pangan.
Tentu untuk mencapai swasembada, petani harus diberikan jaminan biaya murah pertanian. Baik untuk tanaman padi, palawija, peternakan, perikanan air tawar, dan lainnya.
Dan jaminan gagal panen serta harga produksi pertanian tetap stabil ketika panen berlimpah.
Jalannya, tadi itu, adanya undang-undang perlindungan petani. Agar moralitas petani tetap tinggi untuk mengolah berbagai sektor usahanya.
Sehingga, negeri tanah surga ini benar-benar nyata. Tongkat kayu dan batu dapat tumbuh jadi tanaman.
Dan pada akhirnya dapat memberikan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia.
Seperti dalam lirik lagu “Kolam Susu” karya band legendaris Koes Plus.***