Berita  

Mengungkap Tanya Alasan Penghapusan PNS & Honorer

Jakarta, Semarara.News – Pemerintah telah memastikan bahwa tidak ada lagi tenaga honorer dalam tiap instansi pemerintah pada 2023 mendatang. Ini merupakan mandat yang tertuang dalam PP 49/2018.

Dalam aturan tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja itu, menyebutkan bahwa pegawai non-PNS yang ada pada instansi pemerintahan dapat melaksanakan tugas paling lama hingga 2023 mendatang.

Lantas, sebenarnya seperti apa rencana besar menukas penghapusan honorer?

Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Alex Denni, menegaskan rencana penghapusan tenaga honorer bukanlah kebijakan yang ‘turun dari langit’.

“Sebetulnya ini bukan ujug-ujug. Tapi sudah dari 2005. Dan sudah menginventarisir,” kata Alex saat berbincang secara ekslusif dengan CNBC Indonesia, Senin (14/2/2022).

Alex mengemukakan, pada saat itu ada sekitar 900 rib tenaga honorer. Saat itu pula, pemerintah sepakat untuk mengangkat sekitar 860 ribu tenaga honorer sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

“Sisanya tidak memenuhi kriteria, tapi yang sisanya ingin membutuhkan proses lebih lanjut. Saat mendata ulang hingga membengkak jadi 600 ribuan. 11x lipat bertambah angkanya pada saat itu,” jelasnya.

Pembengkakan angka tenaga honorer di tiap instansi tersebut akhirnya mendorong terbitnya Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara 5/2014. Dalam aturan, penetapan ini hanya ada dua kategori ASN yakni PNS dan PPPK.

Namun, bukan berarti pasca terbitnya UU tersebut pemerintah tak lagi mengangkat tenaga honorer. Bahkan hingga saat ini, ada beberapa instansi yang tetap merekrut tenaga honorer, kendati hal tersebut telah dilarang.

“Sejak 2005 sudah dilarang. Jadi sebetulnya PP 48/2005 junto 43/2007. pemerintah dilarang mengangkat tenaga honorer. Jadi semua orang sudah tahu ini enggak boleh.

Transformasi Birokrasi PNS

Selain itu, Alex juga angkat bicara mengenai rencana besar pemerintah dalam mentransformasikan sistem birokrasi PNS. Bukan tidak mungkin, ini juga berdampak untuk beberapa kriteria PNS. 

Alex mengatakan hampir 38% dari total 4,2 juta ASN di Indonesia berstatus sebagai pelaksana. Sementara itu, sebanyak 36% lebih berstatus sebagai guru dan dosen.

“Kemudian tenaga teknis, kesehatan dan lain-lain itu sekitar 14%. Sisa-sisanya 10-11% pejabat struktural. Kalau berbicara transformasi digital, tentu pelaksana ini yang akan berdampak terlebih dahulu karena pekerjaan akan memindai teknologi,” kata Alex.

Alex mengatakan dalam 5 tahun yang akan datang, para pejabat pelaksana akan berkurang sekitar 30-40% dengan rencana transformasi digital. Artinya, ratusan ribu PNS yang menjabat sebagai pelaksana akan merasakan dampaknya.

“Mungkin sekitar 600 ribu dari 1,6 juta yang melakukan pelaksana itu harus bertransformasi, upskilling/reskilling melakukan pekerjaan yang lain lebih value added atau by nature yang pensiun kita tidak ganti,” tegasnya.

“Jadi harus ada negatif growth di sana. Kalau enggak, enggak lucu kita going digital tapi masih banyak padat karyanya di sana,” tegasnya.

Alex mengatakan saat ini ada tiga agenda besar transformasi birokrasi. Pertama, adalah transformasi organisasi yang kerap kali digaungkan oleh Presiden Jokowi. 

“Harus ada layering, layer-layer yang panjang itu harus dipotong. Sekarang hanya tinggal dua. Eselon I dan Eselon II. Eselon III dan IV ditransformasi menjadi pejabat fungsional. Jadi organisasinya dulu,” tegasnya.

Kedua, adalah sistem kerja yang lebih fleksibel dan kolaboratif. Alex mengatakan di era digital, perlu ada perubahan transformasi pemerintahan yang jauh lebih adaptif menyikapi perubahan.

“Ketiga, terkait manusianya sendiri. Manajemen sumber daya manusia menuju human capital tangguh. Ini PR, khususnya di kedeputian SDM aparatur,” tegasnya. (CNBCIndonesia) 

Tinggalkan Balasan