Jakarta, Semartara.News – Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menyoroti tingginya harga minyak goreng di Indonesia. Menurutnya, ini telah menjadi sorotan sejak kuartal keempat 2021 hingga awal kuartal pertama 2022.
Harga minyak goreng naik sebesar 56% antara Maret sampai Desember 2021 dan harganya sempat mencapai Rp 20.667/liter pada bulan Desember.
Dia menilai, tingginya harga minyak goreng terjadi karena dua hal. Pertama, pasokan CPO turun, sementara permintaan sedang meningkat di berbagai bagian dunia menyusul pemulihan ekonomi pasca gelombang kedua pandemi COVID-19.
Menurutnya, turunnya pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) disebabkan karena tingginya harga pupuk yang menyulitkan petani untuk mengakses pupuk yang terjangkau. Harga pupuk berbahan baku nitrogen dan fosfat yang banyak digunakan oleh petani kelapa sawit meningkat 50-80% pada pertengahan 2021 karena adanya gangguan pada rantai pasok, serta kenaikan biaya angkut, permintaan, dan harga bahan baku.
Pupuk merupakan komponen utama dalam produksi kelapa sawit. Lanjut Arjuna, banyak petani swadaya dengan luas lahan kurang dari 2 ha yang tidak mampu membeli pupuk dengan harga tinggi akan mengurangi penggunaan pupuknya dan hal ini kemudian berpotensi besar menurunkan hasil panennya.
“Banyak petani swadaya yang tidak mampu membeli pupuk karena harga pupuk yang sangat tinggi. Ketika petani mengurangi penggunaan pupuk, berpengaruh terhadap hasil panennya. Masalahnya, petani swadaya berkontribusi hingga 34% dari total produksi minyak sawit mentah Indonesia,” ungkap Arjuna dalam keterangannya, Selasa (22/2/2022).
Maka menurut Arjuna, akses petani swadaya terhadap pupuk yang terjangkau adalah kunci untuk menstabilkan pasokan CPO yang berpengaruh pada kestabilan harga minyak goreng.
Untuk itu, DPP GMNI merekomendasikan agar pemerintah tidak hanya mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk. Melainkan juga harus mengawasi penggunaannya untuk memastikan petani swadaya menerima manfaat dari subsidi pupuk dan melarang perkebunan kelapa sawit skala besar mendapatkan pupuk bersubsidi.
“Tentu, solusinya bukan hanya pengadaan pupuk bersubsidi. Tapi juga harus ada regulasi agar pupuk bersubsidi tidak jatuh di pasar gelap yang dinikmati oleh perkebunan besar kelapa sawit. Pemerintah harus memastikan subsidi pupuk tepat sasaran”, tambah Arjuna
Kedua, meningkatnya alokasi CPO untuk bahan bakar nabati (biofuel) juga berkontribusi pada turunnya pasokan CPO untuk produksi minyak goreng. Apalagi pemerintah Indonesia telah menerapkan program biodiesel yang mewajibkan pencampuran bahan bakar minyak jenis solar dengan biofuel. Bahkan CPO untuk biodiesel mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mengatasi selisih harga pasokan internasional dengan harga dalam negeri.
“Pangsa CPO yang diproduksi untuk biofuel meningkat 24% dari tahun 2019 ke 2020. Hal ini juga diiringi dengan turunnya pangsa CPO yang diproses untuk produksi komoditas pangan seperti minyak goreng, yang kemudian berimbas pada harga minyak goreng. Dengan adanya subsidi maka produsen CPO lebih suka mengalihkan sawit mentahnya untuk program biodiesel”, ujar Arjuna
Berdasarkan laporan KPK, ada lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi pengembangan biodiesel dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang Januari-September 2017. Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha turunan kelapa sawit seperti minyak goreng.
Untuk itu, DPP GMNI merekomendasikan agar pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengatur pangsa CPO yang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan industri minyak goreng. Sehingga serapan CPO tidak didominasi untuk pemenuhan program biodiesel, yang akhirnya menyebabkan naiknya harga minyak goreng.
“Harus ada regulasi yang mengatur alokasi pasokan CPO, sehingga pasokan CPO untuk minyak goreng bisa stabil. Karena minyak goreng masih jadi kebutuhan pokok rakyat. Maka pasokannya harus dijamin. Tidak bisa pasokan diperuntukkan untuk biodiesel saja. Ini bisa gejolak”, tutup Arjun