Berita  

Komnas Perlindungan Anak Mengutuk Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekolah

Foto: Arist Merdeka Sirait saat Diwawancara Awak Media

SEMARTARA, Jakarta (9/11) – Penganiayaan dan penyiksaan yang disinyalir terjadi di lingkungan Sekolah Menengah Pertama (SMP), beberapa hari belakangan ini menjadi viral dan “trending topic” di tengah masyarakat. Pasalnya, tindakan tersebut merupakan kejahatan terhadap anak yang sulit diterima akal sehat manusia.

Kekerasan diduga dilakukan oleh oknum guru yang notabenenya sebagai pendidik, maka kekerasan tersebut dapat diancam kurungan penjara serta dapat ditambahkan dengan pemberatan hukuman dan bahkan sungguh-sungguh tidak dapat dibenarkan oleh alasan apapun.

Merujuk pada Konvensi International Hak Anak, lingkungan sekolah setiap negara yang telah meratifikasi dan terikat dengan konvensi PBB, wajib menjadikan lingkungan sekolah dimasing-masing negara bebas dari kekerasan yang dilakukan sesama peserta didik. Baik oleh guru reguler dan non-reguler, maupun oleh pengelola sekolah atau penjaga sekolah.

Hal itu disampaikan Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada media, usai menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) Menangkal Hoax, Perundungan, dan Persekusi terhadap anak yang diselenggarakan Polres Jakarta Timur, baru baru ini.

“Dimanapun, dinegara manapun penganiayaan dan penyiksaan serta kekerasan ini dapat terjadi. Berdasarkan ketentuan Konvensi PBB Tahun 1989 tentang hak anak, tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya, merupakan tindak pidana yang patut diganjar dengan hukuman setimpal dengan perbuatannya,” ungkap Arist.

Maka atas berita ini, sambungnya, dan demi kepentingan terbaik anak (do the best interest of the child) dimanapun, di negara manapun berlaku secara universal, Komnas Perlindungan Anak sebagai lembaga independen dan sebagai mekanisme perlindungan anak di Indonesia mengecam dan mengutuk secara keras terhadap tindakan brutal yang dalam hal ini diduga dilakukan oleh oknum guru.

“Padahal seyogyanya guru menjadi panutan untuk menjaga dan melindungi peserta didiknya dari segala bentuk kekerasan. Sebab, setiap negara yang telah meratifikasi KHA wajib dan terikat secara politis dan juridis untuk mengimplementasikan semua isi dari ketentuan instrumen international ini, dengan kata lain setiap negara wajib untuk memastikan perlindungan anak,” tegasnya.

Oleh sebab itu, kata Arist, guna memastikan kebenaran berita ini dan untuk tidak menebar kebohongan atau hoax dan atau kebencian, Komnas Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut Komnas Anak, menerjunkan Quick Investigator Voluntary dengan melibatkan media dan pegiat perlindungan anak ke Pangkalpinang dan Bangka Belitung.

Ditambahkan Arist, Komnas Perlindungan Anak juga mendorong Polres Pangkalpinang, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Pangkalpinang bersama para pegiat perlindungan anak di Bangka Belitung untuk segera melakukan investigasi, guna menemukan kebenaran atas kasus kekerasan ini dan segera mengumumkan temuannya kepada khalayak ramai.

Lebih lanjut Arist menerangkan, atas berita dugaan kekerasan yang telah menyita perhatian dan memunculkan keprihatinan ditengah-tengah masyarakat, Komnas Perlindungan anak tidak memberikan ruang sedikitpun lingkungan sekolah dimasa depan menjadi ajang kekerasan. Apapun kesalahan dan kekurangan anak sebagai peserta didik, guru dan atau siapapun tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk melakukan kekerasan secara membabi buta.

“Jika ada anak yang tidak beretika saat berhadapan dengan gurunya, maka harus diakui prilaku tersebut merupakan kegagalan guru menanamkan nilai-nilai kebaikan dan etika terhadap peserta didiknya, termasuk juga kegagalan orangtua di rumahnya. Kasus kekerasan yang viral ini tidak boleh terulang dimanapun, dan di negara manapun. Berita ini harus menjadi momen dan kesempatan untuk mengoreksi dunia pendidikan. Ini menjadi tantangan sendiri bagi Menteri Pendidikan kita,” tandas Arist. (Helmi)

Tinggalkan Balasan