Berita  

Komsumsi Internet dan Literasi Media

Literasi Media
Titik tengah antara tingginya konsumsi internet dan literasi media sosial (Foto - Antara/Tular Nalar)

Jakarta, Semartara.News – Buku berjudul Crucial Accountability karya sejumlah pakar komunikasi AS; Patterson, Grenny, McMillan, Switzler, dan Macfield pada 2004 menjadi relevan untuk keadaan saat ini ketika perilaku buruk dan seenaknya sendiri di kalangan masyarakat semakin menggejala.

Buku ini mengulas betapa masyarakat masa kini sudah semakin terbiasa ingkar janji, menggampangkan komitmen, dan menyalahi ekspektasi. Masyarakat modern digambarkan cenderung melihat segala sesuatu dengan cara yang simpel tanpa perlu merasa repot menjaga perasaan orang lain.

Hal itu salah satunya tercermin dalam interaksi mereka di media sosial tak terkecuali di Indonesia. Kondisi ini kian memprihatinkan ketika tingkat penetrasi internet semakin tinggi mendorong konsumsi media sosial melonjak tajam.

Sayangnya fakta tersebut tak dibarengi dengan literasi terhadap media sosial yang memadai sehingga melahirkan kondisi sesat pikir yang merugikan.

Tak jarang masyarakat hidup dalam lingkup informasi hoaks atau kabar bohong yang terlanjur dipercaya sehingga mengaburkan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi.

Keprihatinan itu memaksa Google.org dan MAARIF Institute bersama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) serta Love Frankie menginisiasi program TularNalar. Mereka pun kemudian membentuk konsorsium sosial yang bertujuan untuk melakukan literasi publik terkait media sosial.

Maka kemudian sejak tengah 2020 lalu, program ini melatih 26.700 guru, dosen, dan guru honorer di 23 kota di Indonesia tentang cara mengidentifikasi dan memerangi misinformasi, selain membekali mereka dengan keterampilan literasi media yang relevan.

Kemudahan untuk menjangkau publik pun disadari akan semakin luas jika tersedia platform digital yang mendukung langkah literasi yang mereka lakukan.

Selanjutnya Konsorsium Tular Nalar pun meluncurkan situs tularnalar.id agar mampu memberikan akses kepada dosen, guru, siswa, dan publik yang lebih luas untuk bersama-sama belajar melawan misinformasi.

Harapan itu pun tak berhenti sampai ketika hanya mereka saja yang dapat mengedukasi publik dengan menyajikan pengalaman visual dengan lebih imersif dan menarik, hingga misi bukan sekadar paham dapat tercapai. Melainkan replikasi program serupa oleh pihak-pihak lain.

Tinggalkan Balasan