Jakarta, Semartara.News – Menyongsong HUT PDI Perjuagan ke-48 pada 10 Januari 2021 mendatang, Balitpus DPP PDI Perjuangan, kembali menggelar Webinar Nasional seri II dengan mengangkat tema “Evaluasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi: Menguatnya Politik Identitas dan Politik Biaya Tinggi yang Merusak”, Selasa (29/12/2020).
Hal ini merupakan respon PDI Perjuangan atas rusaknya sistem demokrasi Indonesia, akibat dari menguatnya politik identitas, dan biaya politik yang sangat tinggi.
Pada Webinar seri II ini, Balitpus DPP PDI Perjuangan menghadirkan beberapa pemateri dari kalangan akademisi dan peneliti, seperti, Direktur Institut Sarinah, Eva Sundari, dan Dosen Fisip UNAIR Surabaya, Airlangga Pribadi.
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, dalam memberikan keynote speech, mengucapkan terima kasih kepada rakyat yang memberi kepercayaan dan dukungan kepada PDIP. Dalam survey Syaiful Mujani Research and Consulting dikatakan, jika Pemilu digelar hari ini, maka, PDI Perjuangan akan jadi pemenang dengan suara yang terus meningkat di atas 31%.
Namun PDIP menilai, pihaknya merasa perlu ada evaluasi sistem politik hari ini. Mengutip pernyataan Bung Karno tentang demokrasi, Hasto menegaskan, setiap warga Negara adalah sama. “Indonesia untuk semua. Sitem politik harus dikoreksi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pertama, harus berbasis Pacasila dan UUD 1945. Kedua, berbasis kedaulatan rakyat,” tutur Hasto Kristiyanto.
“Pada konteks berdemokrasi hari ini, ada kegundahan bagi PDIP menghadapi permasalahan biaya politik tinggi yang akut. Kasus Pilkada di Samosir, Sumatera Utara membuktikan, dimana politik uang secara massif mampu mengalahkan Bupati incumbent yang mendapat penghargaan program pemberantasan korupsi terbaik di Sumut, serta hasil audit BPK dengan kualifikasi Wajar Tanpa Pengecualian,” tambah Hasto Kristiyanto.
Politik berbiaya tinggi ini, lanjut Hasto Kristiyanto, merupakan dampak dari liberalisasi politik pasca krisis ekonomi 1997/1998. Di mana, terjadi global reproduction of American Politic lewat Letter of Intent IMF. Struktur dan sistem politik Indonesia, dirubah secara fundamental mengikuti mekanisme elektoral atas campur tangan kapital.
“Demokrasi liberal justru menggeser demokrasi berdasar Pancasila seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Dampak negatifnya, terjadi kapitalisasi kekuasaan politik, penguatan primordialisme, hingga konflik Pancasila melawan ideologi trans nasional,” pungkas Hasto Kristiyanto.
Pakar Politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, mengingatkan isi pidato Bung Karno 1 Juni 1945, justru sangat kontekstual untuk situasi saat ini. Salah satu poin utama yang dimaksud dia adalah, ketika Bung Karno menegaskan, bahwa, Nasionalisme yang harus hidup dalam taman sari internasionalisme.
“Saat ini, ekonomi pasar menjadi gelombang besar yang mempengaruhi, dan bahkan menghabisi rakyat alias kaum Marhaen,” jelas Airlangga.
Maka demokrasi Indonesia yang berbasis ideologi dan nasionalime, katanya, menjadi penting dilaksanakan agar bisa mengantisipasi masalah yang muncul akibat ekonomi pasar. Problem Indonesia saat ini adalah oligarki kekuasaan yang diwarisi sejak era Soeharto, ditambah penetrasi ekonomi pasar. “Neoliberalisme tak hanya bekerja dalam ekonomi, namun, sudah masuk ke politik kenegaraan,” tegasnya.
“Rakyat Indonesia harus memastikan, demokrasi Indonesia menjadi ajang perwujudan ideologi dan nasionalime itu. Dan bukan sebaliknya, sebagai bagian dari arus besar akumulasi kapital seperti diinginkan oleh sistem pasar,” kata Airlangga.
Demokrasi Indonesia yang kita butuhkan, tambah Dia, hanya bisa terjadi, jika, arena politik tak kehilangan relevansi sebagai arena berdimensi politik ideologi. Tak adanya politik ideologi, menjadikan demokrasi tak bisa bekerja di tengah hantaman neolib, dan ekonomi global. Maka sesuai kata Bung Karno, tegas Airlangga, arena politik demokrasi tak boleh pasif menghadapi arus besar ekonomi warganya.
Sementara, Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari, menilai, perlunya membenahi sistem politik nasional, sehingga, demokrasi bisa menyejahterakan rakyat. Dia memberi contoh soal kesetaraan kesempatan berpoliitik bagi perempuan yang masih belum terwujud.
Baginya, demokrasi adalah untuk kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan akan lebih mudah dicapai apabila kesetaraan gender diperkuat, 50% : 50 % menjadi grand strategi gender. Bukan lagi sekedar minimal 30%. Dan kesetaraan gender ini, akan berdampak kepada perbaikan demokrasi di segala lini. “Sudah terbukti di beberapa negara,” tegas Eva.
Menurutnya, jika kesetaraan jender diwujudkan, maka, politik akan berubah wajah sekaligus arah ke pro kesejahteraan. “Bukan sekadar politik yang prosedural semata. Inilah saatnya kita mesti berubah. Bahwa substansi demokrasi harus diwujudkan yakni kesejahteraan yang terukur. Apa contohnya! Salah satunya adalah sustainable development goals,” tutur Eva.
“Ada 5 rekomendasi. Pertama, kuatkan demokrasi kebangsaan, pro CSOs, free press, Critical n constructive opposition, Kedua, tegakkan Gakkum, Ketiga, integrasikan gender equality principle (kasus Rwanda, Tunisia) – PDI Perjuangan, Keempat, lanjutkan program nation character building, Kelima, close system-system of election,” pungkasnya.
Webinar Nasional seri II ini dipandu oleh moderator dari Balitpus PDI Perjuangan, Lukita Tuwo, dan diikuti oleh 850 peserta dari berbagai kalangan.