DPR : Jangan Buru-buru Menyimpulkan Bentrok FPI-Polisi

DPR
Kondisi mobil penyidik yang rusak saat baku tembak polisi dengan laskar khusus FPI di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50 pada Senin dinihari tadi, 7 Desember 2020. (Foto - Istimewa)

Jakarta, Semartara.News – Peristiwa bentrok antara Kepolisian dan Front Pembela Islam (FPI), diminta tidak buru-buru menyimpulkan. Pernyataan itu disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, Selasa (8/12/2020).

“Dari peristiwa ini, kita diharapkan jangan terburu-buru, agar kita tidak keliru mengambil kesimpulan,” tutur DPR RI, Wayan, melalui keterangan Persnya.

Wayan menjelaskan, bahwa dalam peristiwa ini, Polisi harus memberikan penjelasan secara terbuka. Sebab, setiap peristiwa memiliki latar belakang dan proses yang panjang.

“Dalam peristiwa ini, polisi harus dihadirkan untuk memberikan penjelasan secara terbuka, dan apa adanya kepada semua pihak,” tutur Wayan.

“Setiap peristiwa, pasti memiliki latar belakang dan rangkaian proses yang Panjang. Untuk itu asas sebab akibat, juga harus kita telusuri secara mendalam,” tambah Wayan.

Pihak Kepolisian, terang Wayan, tindakan penembakan yang menewaskan 6 orang tersebut, bisa dibenarkan jika untuk melindungi diri.

“Dari sisi kepolisian, penembakan yang menewaskan 6 (enam) orang tersebut, merupakan tindakan untuk melindungi diri dari serangan yang dilakukan pihak korban,” tambahnya.

“Secara tupoksi sebagai penjaga ketertiban dan keamanan, Polisi sudah bertindak benar dengan upaya penyelidikan, untuk melakukan pencegahan pengerahan massa terkait pemeriksaan HRS,” tukasnya.

Namun meski begitu, ia meminta agar peristiwa tersebut harus diinvestigasi secara mendalam. Sebab, pihak kepolisian harus menjelaskan, apakah penembakan itu sudah sesuai dengan standar operasi prosedur (SOP) atau tidak.

Tidak hanya itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan ini juga meminta pihak Polisi, harus bisa membuktikan secara jelas dan nyata tentang unsur-unsur ancaman, dan juga serangan dari pihak FPI

“Apakah sudah benar dalam melaksanakan SOP (standar operasi prosedur) yang dilakukan petugas kepolisian. Unsur-unsur serangan atau ancaman yang dilakukan korban. juga harus dapat dibuktikan secara nyata,” tegas Wayan.

Jika hasilnya memang terbukti, bahwa serangan atau ancaman yang sangat dekat, kata Wayan, maka, sesuai Pasal 49 KUHP, perbuatan tersebut tidak dapat dihukum.

Wayan juga menjelaskan, bahwa hukum di Indonesia memberikan hak asasi kepada negara, di mana negawa wajib melindungi. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukan hak asasi tanpa batas.

“Konstitusi kita pada Pasal 28J, telah juga memberikan batasan terhadap pelaksanaan hak asasi warga Negara. Agar sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum,” tambahnya.

Alhasil peristiwa di atas, lanjut Wayan, harus dijadikan pelajaran, agar ke depan para tokoh maupun pimpinan organisasi, harus sesuai dengan koridor hukum dalam berkatifitas.

“Hilangkan sikap-sikap arogan, main hakim sendiri, dan sikap saling menghujat. Negara kita merupakan negara hukum yang domokratis. Semua hal sudah diberikan salurannya oleh konstitusi,” tutup I Wayan Sudirta.

Tinggalkan Balasan