SEMARTARA – Tim kuasa hukum dari buruh PT. Freetrend yang terkena PHK, layangkan surat ke manajemen, Senin, 13 Juli 2020. Surat, berisi agar segera diadakan penyelesaian Bipartit antara buruh dan perusahaan.
Masjiknursaga SH, MH, dari Firma Hukum Senopati menjelaskan, bukan rahasia lagi saat ini ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Simpangsiur jumlah buruh yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung.
Baik itu yang dirumahkan dan/atau diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan dengan alasan sebagai langkah kebijakan upaya penyelamatan perusahaan, tidak diketahui jumlahnya secara pasti.
Di masa pandemik pemerintah tidak mampu menekan langkah perusahaan menurunkan hak buruh hingga terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan PHK terjadi pada beberapa perusahaan MNC “Multi National Corporate” seperti PT. Victory Chilng Luh Indonesia, PT. Syang Youfung hingga PT. Freetrend.
“Banyak perusahaan mengaku tutup karena pandemi, tapi ini harus dibuktikan. Bukan klaim sepihak saja dari perusahaan,” ujarnya, usai menemui manajemen PT. Freetrend.
Marjuknursaga menyebut, PHK terhadap buruh sejatinya ada kewajiban perusahaan untuk membayar hak buruhnya berdasar pada Ketentuan Pasal 164 Ayat (3), dengan rincian perusahaan memberikan hak pesangon sebesar dua kali berdasar Ketentuan Pasal 156 Ayat (2). Satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat (4), sebagaimana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan.
Namun demikian, PT. Freetrend, yang beralamat di Kawasan Industri Cidurian, kampung kalanturan RT. 01/02, Jl. Raya Serang KM.25, Desa Sentul, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, yang memproduksi Sepatu Merk New Balance, nampaknya, tidak mau melaksanakan putusan Undang-umdang.
PT. Freetrend melakukan PHK dengan memberikan hak pesangon 1 Kali berdasar Ketentuan Pasal 156 Ayat
(2), satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat (4). Dengan demikian dapat diartikan dasar perusahaan menggunakan Ketentuan Pasal 164 Ayat (1) menjadi tidak berdasar.
“Kami memperjuangkan hak klien kami di PT. Freetrend. Di sisi lainnya hampir semua karyawan di PT. Freetrend terikat dengan perjanjian hutang piutang dengan Perbankan. Hal ini akan menambah derita baru, dimana uang pesangon
tidak mencukupi membayar hutang, apalagi di masa pandemi ini, tentuanya akan sulit mencari lapangan pekerjaan baru,” tandasnya.
Dijelaskan, bagi buruh yang tidak tahu atau tidak mau tahu, menganggap tidak menjadi masalah, selama mendapatkan pesangon. Namun di sisi lainnya, buruh kena PHK tidak sadar di masa sulit ini, akan kehilangan pekerjaan namun hukum Perbankan tetap berjalan.
Pihaknya menyayangkan banyak
yang belum sadar akan hal itu dan menjadi ‘warning’ serta tidak menutup kemungkinan buruh Freetrend yang di-PHK, ke depannya akan menghadapi gugatan Perdata dari pihak perbankan atau ada sita dari pihak Perbankan.
Jaminan kartu ATM, BPJS, BPKB Kendaraan dan ada yang jaminan sertifikat berharga sebagian sudah terjadi oleh buruh ke perbankan. Bahkan pembayaran pesangon tidak menutup kemungkinan akan di hol/outo debet oleh pihak Perbankan.
“Buruh mau menolak PHK tak berdaya, melawan PHK tak kuasa, mungkin pepatah yang tepat untuk saat ini, itu. PHK berdasar pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 Ayat (3) yang selengkapnya disebutkan, Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup, bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur). Kalaupun terjadi, perusahaan melakukan efesiensi, harus dengan ketentuan, yakni pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar dua kali, sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2). Lalu, uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali, sesuai Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak, sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4),” paparnya.
Ditambahkan Kuasa hukum senopati lainny, Solihin SH, menyatakan, terhadap ketentuan Pasal 164 Ayat (3) UUK telah dimohonkan untuk diuji materi ke
Mahkamah Konstitusi (MK) yang tercatat dalam register No. 19/PUU-IX/2011, menurut MK kaidah Pemutusan Hubungan Kerja yang terkandung dalam Pasal 151 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam hal pengusaha mengambil kebijakan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan efisiensi harus terbih dahulu melakukan upaya-upaya, sebagai berikut.
“Pertama, mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur, dua mengurangi shift, tiga membatasi/menghapus jam kerja lembur, empat mengurangi jam kerja, lima mengurangi hari kerja, enam meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu, tujuh tidak untuk memperpanjang ontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya dan delapan memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat,” beber Solihin.
Hal ini menurutnya, MK perlu menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 164 Ayat (3) UUK, tetap konstitusional, sepanjang dimaknai perusahaan tutup
permanen atau untuk tidak sementara waktu. Dengan kata lain frasa “perusahaan tutup” tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang tidak dimaknai
perusahaan tutup permanen atau untuk tidak sementara waktu.
Sangat disayangkan jika ada kesepakatan PHK yang haknya tidak sesuai dengan ketentaun ketenagakerjaan, sekalipun perusahaan mau memberikan 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat (4). Perlu diuji secara yuridis lagi, karena tahapan tahapan PHK bukan hanya berunding, namun upaya penyelamatan belum dilakukan, sesuai dengan tahapan.
“Terlebih PT. Freetrend hanya
mau membayar satu kali. Dan erdasarkan keterangan dari beberapa sumber yang tentunya tidak bisa kami sebut, bahwa PT. Freetrend mampu membayar sesuai aturan ketenagakerjaan. Kami tunggu sampai tanggal 15 Juli, lanjut surat kedua. Surat kedua tidak ditanggapi juga, kita akan aksi besar-besaran,” tegasnya.
Respon (2)