Opini, Semartara.News — Delapan puluh tahun sudah Indonesia mengibarkan benderanya, meneguhkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Namun, di tengah gegap gempita peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 kemerdekaan, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: merdeka apanya? Pertanyaan ini bukan sekadar sinis atau tidak tahu terima kasih pada jasa para pahlawan. Justru sebaliknya, pertanyaan ini lahir dari rasa gelisah: apakah janji-janji kemerdekaan sudah benar-benar dirasakan rakyat? Atau jangan-jangan, kita hanya merdeka secara simbolik, tetapi masih terjajah oleh sistem, ketidakadilan, dan kepalsuan yang terus berulang?
Cari Kerja Susah: Pemuda Bingung, Negeri Lupa
Indonesia dikenal dengan “bonus demografi” – di mana generasi muda mendominasi jumlah penduduk. Seharusnya ini menjadi kekuatan. Tetapi realitas di lapangan justru ironis: mencari pekerjaan semakin sulit. Lowongan kerja ada, tetapi sering tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Lulusan universitas menumpuk, tetapi perusahaan mencari “yang sudah berpengalaman”. Lulusan SMA bingung harus kemana, karena keahlian yang mereka punya tidak sinkron dengan kebutuhan industri.
Lebih menyakitkan lagi, banyak anak muda yang akhirnya menyerah, bukan karena malas, tetapi karena negara tidak pernah benar-benar hadir menciptakan lapangan kerja yang layak. Sementara itu, jargon-jargon pembangunan ekonomi hanya indah di atas panggung pidato, tetapi jarang terasa di meja makan rakyat kecil. Apakah ini yang disebut merdeka?
Guru dan Dosen Berkeluh Kesah
Jika ada profesi yang seharusnya paling dimuliakan, mereka adalah guru dan dosen. Dari tangan mereka lah lahir generasi yang menentukan arah bangsa. Namun apa yang terjadi? Guru dan dosen di negeri ini lebih banyak mengeluh daripada tersenyum. Mereka dituntut profesional, tapi dibayar ala kadarnya. Mereka diminta mencetak generasi unggul, tapi disuguhi birokrasi yang berliku-liku.
Tak jarang, seorang guru honorer yang mengabdi bertahun-tahun hanya menerima gaji setara ongkos bensin. Dosen pun sama: riset mahal, tunjangan kecil, tekanan administrasi besar. Lalu pemerintah mengajak “cetak SDM unggul”? Ironis. Bagaimana mungkin mencetak generasi emas kalau para pendidik sendiri masih berkutat dengan nasib yang tak kunjung jelas? Lagi-lagi, merdeka apanya?
Feodalisme Makin Menggila
Delapan puluh tahun merdeka, tetapi aroma feodalisme masih pekat di udara. Lihat saja bagaimana budaya “asal bapak senang” masih hidup subur di berbagai instansi. Mereka yang pandai menjilat lebih cepat naik jabatan daripada yang benar-benar bekerja. Kualitas kalah oleh koneksi, prestasi kalah oleh kedekatan.
Lebih buruk lagi, politik kita sering kali terjebak dalam kultus individu. Pemimpin dipuja bak raja, kritik dianggap penghinaan. Padahal, semangat kemerdekaan adalah membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan, termasuk penjajahan mental semacam ini. Kalau rakyat masih takut bicara karena khawatir diserang buzzer, apakah kita benar-benar merdeka?
Sembako Mahal Tak Terkira
Merdeka juga seharusnya berarti bebas dari ketakutan perut kosong. Namun, harga sembako hari ini sering melambung tinggi, jauh dari jangkauan rakyat kecil. Beras, cabai, bawang, minyak goreng—semua terasa seperti barang mewah. Sementara itu, petani yang susah payah menanam justru sering tidak menikmati hasilnya. Rantai distribusi dikuasai tengkulak dan mafia, membuat harga di pasar berbeda jauh dengan harga di sawah.
Dalam kondisi ini, rakyat kecil hanya bisa pasrah. Padahal, bukankah amanat kemerdekaan adalah menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Kalau perut rakyat masih keroncongan, kalau makan sehari-hari masih jadi beban, lalu di mana letak merdekanya?
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. (*)